Aksara Jawa yang dalam hal ini adalah Hanacaraka (dikenal juga dengan nama Carakan) adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak.
Bentuk Hanacaraka yang sekarang dipakai sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida.Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na yang mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara Latin. Penulisan Aksara Jawa Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi.
Huruf Dasar (Aksara Nglegena)
Aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata atau biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu: ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga
Pengurutan dengan sistem "Hanacaraka" hanya digunakan dalam bahasa Jawa modern, sedangkan bahasa Jawa yang terdaftar di Unicode menggunakan urutan Panini (KaGaNga).
Huruf pasangan (Aksara pasangan)
Pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Sebagai contoh, untuk menuliskan mangan sega (makan nasi) akan diperlukan pasangan untuk "se" agar "n" pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan "s" tulisan akan terbaca manganasega (makanlah nasi).
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.
Berikut ini adalah daftar pasangan:
Catatan:
- Aksara pasangan ditulis di bawah aksara konsonan akhir suku kata sebelumnya, kecuali aksara pasangan ha, sa, dan pa yang ditulis di belakang aksara konsonan akhir suku kata di depannya.
- Aksara ha, ca, ra, wa, dha, ya, tha, dan nga tidak dapat diberi aksara pasangan atau tidak dapat menjadi aksara sigegan (aksara konsonan penutup suku kata). Dalam hal ini aksara sigegan ha diganti wignyan, aksara sigegan ra diganti layar, dan aksara sigegan nga diganti cecak, dan hampir tidak ada suku kata yang berakhir sigegan ca, wa, dha, ya, dan tha.
- Aksara nya hanya dapat menjadi akasara sigegan untuk bunyi nasal ñ, yaitu kata yang suku pertamanya berakhiran huruf 'n' dan kata keduanya berawalan huruf 'c' atau 'j'. Misal: kanca,panca, blanja, kanji, dll.
- Aksara pasangan ka, na, dan la, memiliki variasi aksara pasangan kedua, yaitu ketika diberi 'suku' (atau aksara pasangan ka diberi cakra, keret, atau pengkal), bentuk aksara pasangan itu diubah terlebih dahulu menjadi aksara utuh seperti aksara pokok masing-masing, kemudian baru diberi suku/cakra/keret/pengkal yang dirangkaikan di bawah bagian akhir aksara pasangan itu seperti pada aksara nglegananya.
Huruf utama (aksara murda)
Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (hampir setara dengan huruf kapital) berjumlah sembilan buah yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan namagelar, nama diri, nama geografi, nama lembaga pemerintah, dan nama lembaga berbadan hukum. Aksara murda ini tidak dapat dipakai sebagai penutup suku kata (sigegan).
Aturan pemakaian aksara murda: suku pertama biasanya yang dikapitalisasi (ditulis dengan aksara murda), namun apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku pertama, maka suku kedua yang dikapitalisasi. Apabila tidak tersedia aksara murda untuk suku kedua, maka suku ketiga yang dikapitalisasi, dan seterusnya. Awal kalimat tidak perlu ditulis menggunakan huruf kapital. Contoh: Dipanegara, karena tidak ada aksara murda untuk "di", maka suku kata kedua ("pa")-lah yang ditulis dengan aksara murda.
Berikut ini adalah aksara murda serta aksara pasangannya:
Huruf Vokal Mandiri (aksara swara)
Aksara suara (aksara swara) berjumlah tujuh buah. Aksara suara digunakan untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing, untuk mempertegas pelafalannya. Aksara suara tidak dapat dijadikan sebagai aksara pasangan sehingga aksara sigegan yang terdapat di depannya harus dimatikan dengan pangkon. Walaupun demikian aksara suara dapat diberi sandhangan wignyan, layar, dan cecak.
Huruf tambahan (aksara rèkan)
Aksara rekaan (aksara rekan) berjumlah lima buah. Aksara rekaan dipakai untuk menuliskan aksara konsonan pada kata-kata asing (khususnya bahasa Arab) yang masih dipertahankan seperti aslinya. Aksara rekaan dapat menjadi aksara pasangan, dapat diberi pasangan, serta dapat diberi sandhangan seperti keduapuluh aksara dasar.
Sandhangan
Sandangan ialah tanda diakritik yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa. Penulisan sandangan pada aksara pasangan selain aksara pasangan ha, sa, dan pa diletakkan di atas bagian akhir aksara yang mendapat pasangan dan aksara pasangannya diletakkan di bawah aksara yang mendapat pasangan itu. Penulisan sandangan pada aksara pasangan ha, sa, dan pa diletakkan di atas bagian akhir masing-masing aksara pasangan itu.
Sandangan aksara Jawa dapat dibagi menjadi dua golongan, sandangan bunyi vokal (sandhangan swara) dan sandangan konsonan penutup suku kata (sandhangan sesigeg/sandhangan panyigeging wanda).
0 komentar:
Posting Komentar